
Ibadah dengan mahabbah adalah bentuk ketaatan yang menghidupkan hati dan mendekatkan jiwa kepada Allah. Tanpa mahabbah, ibadah hanya menjadi rutinitas yang kering dan hampa. Ilmu memang penting, tetapi cinta adalah ruh yang membuat kita istiqamah dalam beribadah. Ketika seorang muslim mencintai Rabb-nya, maka setiap amal menjadi ringan, bermakna, dan penuh kerinduan.
Namun, di tengah rutinitas keagamaan hari ini, kita melihat banyak yang rajin beribadah tetapi tidak merasa dekat dengan Allah. Banyak yang hafal doa dan bacaan, namun tidak merasakan ketenangan di dalamnya. Mengapa itu bisa terjadi? Karena ada satu unsur yang hilang: mahabbah. Oleh sebab itu, artikel ini mengajak kita merenung lebih dalam, bagaimana seharusnya kita menghidupkan ibadah dengan mahabbah.
Secara bahasa, mahabbah berarti cinta yang murni dan dalam. Dalam istilah syar’i, mahabbah adalah rasa kasih sayang dan ketertarikan hati yang tumbuh karena mengenal keindahan dan kebesaran Allah. Cinta ini bukanlah cinta buta. Sebaliknya, ia muncul dari pengenalan yang mendalam terhadap sifat-sifat Allah: Maha Penyayang, Maha Pengampun, Maha Adil, dan Maha Lembut terhadap hamba-Nya.
Seseorang yang mencintai Allah tidak hanya menjalankan perintah karena takut neraka atau berharap surga. Ia melakukannya karena tidak ingin kehilangan kedekatan dengan-Nya. Maka, ibadah bukan lagi semata formalitas, melainkan ungkapan rindu dan ketergantungan yang tulus.
Bayangkan seseorang yang berdiri untuk shalat, tetapi pikirannya melayang ke mana-mana. Ia membaca Al-Qur’an dengan fasih, namun hatinya kosong. Ia berdzikir dengan banyak kata, tetapi tidak membekas dalam sikapnya. Inilah ibadah yang belum menyentuh ruhnya.
Rasulullah ﷺ bersabda:
“Sesungguhnya Allah tidak melihat kepada rupa dan harta kalian, tetapi Dia melihat kepada hati dan amal kalian.”
(HR. Muslim)
Dengan hadis ini, kita belajar bahwa Allah menghendaki ibadah yang bersumber dari hati. Ibadah yang jujur, penuh harap, dan cinta. Inilah yang disebut ibadah yang hidup.
Bagaimana kita tahu bahwa ibadah kita telah hidup?
Pertama, kita merasa rindu beribadah. Bila hati gelisah karena belum shalat, atau merasa hampa karena lupa berdzikir, itu tanda cinta. Kita tidak tenang sebelum menyapa Allah.
Kedua, menangis dalam ibadah. Air mata yang jatuh saat sujud atau membaca Al-Qur’an bukan kelemahan. Itu bukti bahwa hati sedang berbicara dengan Rabb-nya.
Ketiga, menikmati kesendirian bersama Allah. Cinta sejati tidak butuh penonton. Maka, orang yang mencintai Allah justru paling khusyuk saat sendiri. Di atas sajadah malam, ia mencurahkan isi hatinya. Karena cinta yang tulus hanya ingin dilihat oleh-Nya.
Tanpa cinta, ibadah mudah ditinggalkan. Saat tidak ada yang mengingatkan, kita cepat lengah. Bila hati tidak mencintai, maka ibadah menjadi rutinitas kaku yang tanpa makna.
Allah tidak menciptakan manusia hanya untuk menjalani kewajiban, tetapi untuk mengenal dan mencintai-Nya. Seperti dalam firman-Nya:
“Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka beribadah kepada-Ku.”
(QS. Adz-Dzariyat: 56)
Maka ibadah bukan sekadar aktivitas. Ia adalah jembatan untuk mengenal Allah. Dan saat kita mengenal-Nya dengan sungguh-sungguh, mahabbah akan tumbuh dari hati terdalam.
Semakin sering seorang muslim berdzikir, semakin dekat hatinya kepada Allah. Dzikir adalah bentuk pengakuan bahwa kita selalu butuh kepada-Nya. Kalimat tasbih, tahmid, takbir, dan tahlil adalah lantunan cinta yang menghidupkan ruh ibadah.
Luangkan waktu untuk berdzikir setiap hari. Ucapkan dengan hati yang sadar dan penuh harap. Semakin sering nama Allah disebut, semakin lembut hati ini mencintai-Nya. Sebab cinta tumbuh dari kedekatan, dan dzikir adalah pintu menuju kedekatan itu.
Perhatikan betapa Allah memberi tanpa pamrih. Udara, kesehatan, dan waktu adalah nikmat yang tak ternilai. Setiap detik hidup adalah bukti cinta-Nya. Tafakur akan menumbuhkan rasa syukur dan kedekatan, lalu melahirkan cinta dalam hati yang sadar.
Muslim yang gemar tafakur lebih mudah menumbuhkan mahabbah. Ia sadar, setiap hari Allah mencintainya lebih dahulu.
Dosa yang terus-menerus dilakukan akan mengeraskan hati. Hati yang keras tidak mudah mencintai Allah. Maka, jagalah pandangan, lisan, dan perbuatan. Hindari maksiat yang merusak cahaya cinta.
Dengan menjaga diri, hati menjadi bersih. Hati yang bersih akan mudah menyerap cahaya mahabbah.
Lihatlah kisah para sahabat dan orang shalih terdahulu. Mereka bukan hanya taat, tetapi juga menikmati ketaatan itu. Ada yang menangis dalam sujud panjang, ada yang tidak bisa tidur karena rindu kepada Allah.
Kisah-kisah itu menjadi bahan bakar bagi cinta kita. Walau tidak meniru seluruhnya, kita bisa mengambil semangat mereka untuk membangkitkan rasa cinta kepada Allah.
Cinta membuat seseorang mencari cara untuk selalu dekat. Ia tidak menunggu diperintah, tetapi bergerak karena rindu. Demikian pula cinta kepada Allah. Ia menjadikan malam sebagai waktu yang dinanti. Membaca Al-Qur’an bukan lagi beban, tetapi pelipur lara.
Dengan cinta, memberi terasa ringan. Bersabar terasa tenang. Tawakal terasa nikmat. Karena cinta kepada Allah tidak pernah membawa kerugian. Justru cinta itu yang akan menenangkan hati dan menguatkan langkah.
Jangan tunggu hati kosong untuk mencari Allah. Jangan tunggu musibah datang baru kita bersujud. Hidupkan ibadah mulai hari ini. Isilah dengan cinta, bukan sekadar hafalan. Penuhkan dengan harap, bukan semata gerakan.
Berlatihlah mencintai Allah setiap hari. Berdzikirlah dengan hati yang hadir. Bacalah Al-Qur’an dengan rasa seolah itu surat cinta khusus untukmu. Lakukan ibadah seolah itu pertemuan terindah dengan Sang Pencipta.
Karena pada akhirnya, yang menyelamatkan bukan jumlah amal, tapi hati yang mencintai Allah dalam setiap ibadahnya.